Oleh: Muhammad Yusuf, SH., MH *
Mapos, Dibanyak ruang diskusi hari ini, sejarah dan adat sering dijadikan bahan pembicaraan yang ringan—terlalu ringan. Ada yang menyamakan sejarah dengan cerita dapur: cukup dengan “katanya-katanya”, ditambah bumbu “saya dengar begitu”, lalu berani menyimpulkan seolah dirinya empu masa lalu.
Padahal sejarah bukan ruang gosip. Ia hidup dari sumber-sumber sahih: manuskrip kuno, kronik, catatan babad, lontaraq, hingga arsip resmi negara. Tanpa sumber itu, narasi yang kita bangun hanyalah dongeng yang tersesat dalam kabut.
Lebih menyedihkan lagi, banyak yang dengan percaya diri berbicara tentang sejarah bangsanya sendiri dengan urutan waktu yang keliru. Satu abad disamakan dengan satu generasi. Satu kerajaan dicampuradukkan dengan yang lain. Semua berangkat dari kalimat pamungkas: “Saya dengar dari orang tua dulu.”
Ini bukan hanya kesalahan, tapi bahaya. Karena serpihan-serpihan yang tidak utuh itu justru kerap dijadikan senjata untuk menyalahkan orang lain yang dianggap “tidak tahu sejarah”, padahal dirinya sendiri belum pernah menyentuh naskah sumber, apalagi membaca dengan teliti.
Hal yang sama terjadi dalam memahami adat dan budaya, khususnya dalam konteks sil-silahkan adat sebuah sistem nilai yang sarat makna di banyak masyarakat tradisional, termasuk Mandar. Sil-silahkan adat bukan sekadar soal garis keturunan atau gelar kehormatan. Ia adalah struktur nilai yang mengatur posisi sosial, hak, dan kewajiban seseorang dalam tatanan masyarakat.
Namun kini, makna luhur itu mulai kabur. Banyak yang mengutip sil-silahkan adat tanpa memahami konteksnya, bahkan mempergunakannya untuk menjustifikasi kepentingan pribadi. Generasi muda pun makin asing, karena tak lagi dikenalkan pada narasi otentik, melainkan hanya pada potongan-potongan cerita yang sudah tercemar.
Sejarah dan adat adalah dua pilar yang menopang jati diri kita sebagai bangsa. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sejarah memberi arah, adat memberi akar. Tapi keduanya menuntut kerendahan hati dalam belajar dan keberanian untuk berkata: “Saya belum tahu, maka saya ingin mencari tahu.”
Kita tidak boleh berhenti pada cerita-cerita muara yang keruh, lalu mengira itu adalah sumber. Kita harus berani menapaki arusnya dari hulu: membaca lontaraq, meneliti arsip, mendengar dari para tetua yang masih memegang ingatan kolektif. Di sanalah kebenaran bertumbuh.
Jika generasi hari ini gagal membedakan antara mitos dan sejarah, antara warisan adat dan manipulasi simbol, maka yang hilang bukan hanya kearifan, tetapi arah masa depan.
Sudah saatnya kita berhenti mempermainkan sejarah dan adat. Bangsa yang kuat dibangun dari ingatan yang jernih dan akar yang dalam.
(*)
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah mandar Mamuju