Antara Landasan Hukum, Potensi Strategis dan Tantangan Implementasi

Pemekaran Kota Mamuju

Oleh: Muhammad Yusuf, S.H., M.H *

Mapos, PENETAPAN Undang-Undang Nomor 149 Tahun 2024 tentang Kabupaten Mamuju pada 28 Oktober 2024 menandai tonggak penting dalam penataan administrasi di Provinsi Sulawesi Barat. Regulasi ini tidak hanya memberikan legitimasi hukum bagi reposisi wilayah, tetapi juga secara definitif membuka kembali wacana pembentukan Kota Mamuju sebagai daerah otonom. Sejak terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat melalui UU No. 26 Tahun 2004, Mamuju memang telah ditetapkan sebagai ibu kota. Namun, secara administratif, statusnya masih sebatas kabupaten—sebuah anomali yang kontras dengan lazimnya pusat pemerintahan provinsi di Indonesia.

​Upaya pemekaran telah digagas sejak Desember 2019, mencakup lima kecamatan inti dengan luas wilayah 777 km² dan populasi sekitar 139 ribu jiwa. Secara faktual, data ini memenuhi persyaratan dasar yang ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mensyaratkan populasi minimal 100 ribu jiwa untuk pembentukan kota otonom. Oleh karena itu, secara kriteria administratif dan demografi, perjuangan pemekaran Kota Mamuju telah memiliki pijakan yang kuat.

​Analisis Potensi Positif dan Kelayakan

​Peningkatan Efisiensi Pelayanan Publik. Pemekaran akan memungkinkan adanya dua entitas pemerintahan yang lebih fokus Kabupaten Mamuju dan Kota Mamuju. Kota Mamuju akan berkonsentrasi pada layanan perkotaan, yang akan mempercepat akses masyarakat terhadap layanan dasar seperti perizinan, administrasi kependudukan, dan layanan kesehatan. Hal ini juga akan memangkas birokrasi, mengingat rentang kendali pemerintahan akan lebih pendek dan efektif.

​Pemerataan Pembangunan. Dengan adanya DOB, Kabupaten Mamuju induk dapat mengalihkan fokus pembangunannya ke wilayah pedalaman yang kaya akan potensi pertanian dan pariwisata, seperti Bonehau dan Kalumpang. Sementara itu, Kota Mamuju akan berfokus pada pembangunan infrastruktur perkotaan dan jasa komersial. Strategi ini akan mencegah ketimpangan pembangunan dan mengoptimalkan potensi sumber daya di kedua wilayah.

​Optimalisasi Otonomi Daerah. Sebagai kota otonom, Mamuju akan memiliki kewenangan fiskal dan administratif yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran, perencanaan tata ruang, dan kebijakan pembangunan. Hal ini membuka peluang untuk inovasi kebijakan berbasis karakter lokal dan mempercepat modernisasi infrastruktur yang sesuai dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi.

​Tantangan Utama dan Mitigasi Risiko

​Meskipun memiliki landasan hukum dan potensi yang kuat, perjuangan DOB Kota Mamuju menghadapi tantangan besar, terutama pada fase implementasi.

​Risiko Fiskal dan Ketergantungan Anggaran Pusat. Salah satu kelemahan umum daerah hasil pemekaran adalah ketergantungan pada transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Contoh kasus seperti Kabupaten Tana Tidung, di mana hingga 98% APBD-nya bersumber dari transfer pusat, menjadi pelajaran berharga. Kota Mamuju harus memiliki strategi penguatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang jelas, misalnya melalui optimalisasi sektor perdagangan, jasa, dan pariwisata, agar tidak terjebak dalam masalah serupa.

​Potensi Konflik Pasca-pemekaran. Proses pemekaran berpotensi memicu gesekan politik dan ekonomi antara daerah induk dan daerah baru, terutama terkait pembagian aset, kewenangan, dan batas wilayah. Diperlukan mekanisme penyelesaian konflik yang transparan dan adil yang melibatkan pemerintah daerah, DPRD, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk memastikan transisi berjalan mulus.

​Keterbatasan Kebijakan Moratorium Nasional. Realitas bahwa pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium pemekaran menjadi hambatan utama. Meskipun semua persyaratan teknis dan administratif sudah terpenuhi, proses perjuangan secara praktis terhenti. Kondisi ini menciptakan anomali administratif di mana ibu kota provinsi belum berstatus kota otonom, yang berpotensi menghambat efektivitas tata kelola pemerintahan.

​Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

​Perjuangan pemekaran Kota Mamuju memiliki landasan hukum dan potensi strategis untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat. Namun, ia tidak boleh hanya menjadi agenda politik, tetapi harus didasarkan pada perencanaan yang matang dan manajemen risiko yang cermat.

​Untuk memastikan keberhasilan, diperlukan langkah-langkah strategis:

​Mendorong Pemerintah Pusat untuk meninjau ulang kebijakan moratorium, terutama bagi daerah yang sudah memenuhi persyaratan dan memiliki urgensi strategis seperti Mamuju.

​Membangun Kemandirian Fiskal dengan mengidentifikasi dan mengoptimalkan sumber-sumber PAD lokal, sehingga Kota Mamuju tidak terlalu bergantung pada transfer dana pusat.

​Mengaktifkan Partisipasi Publik melalui forum diskusi, konsultasi kebijakan, dan transparansi informasi agar pemekaran memiliki legitimasi sosial yang kuat dan minim resistensi.

​Menyusun road map Pasca-Moratorium yang komprehensif, mencakup pembangunan infrastruktur, pembentukan institusi pemerintahan, dan penguatan ekonomi lokal.

​Dengan dukungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten induk, perjuangan ini akan memiliki sinergi yang kuat. Pemekaran Kota Mamuju bukan sekadar ambisi, melainkan sebuah keharusan strategis untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan mewujudkan pembangunan yang merata bagi seluruh masyarakat Sulawesi Barat.

(*)

 

*Penulis adalah Alumni Hipermaju
error: Maaf... ! Web ini di Protek yaaa...