Opini  

500 Hari Tanpa Keadilan

VERONA FITRI

Mapos. Tanggal 1 November 2018 besok merupakan hari yang cukup memiliki arti bagi penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Karena hari itu tepat 500 hari para penyerangnya bebas berkeliaran. Hidup senang tanpa menanggung konsekuensi akan perbuatan teror yang mereka lakukan.

Sementara, Novel yang menjadi korban penyerangan, terpaksa menjalani sisa hidup dengan menderita cacat akibat kehilangan salah satu matanya. Begitu sulitkah keadilan didapatkan di negeri ini?

Sejak awal, Novel mengaku cukup pesimistis kasus teror penyiraman air keras terhadap dirinya bisa terungkap. Sebab, ia menerima informasi, bahwa ada keterlibatan jenderal polisi yang menjadi dalang penyerangan itu.

Memang itu hanya sebatas dugaan. Namun, jika melihat kinerja polisi yang tak kunjung berhasil menangkap pelaku penyerangan, dugaan itu bisa saja masuk akal. Tentu akan mustahil polisi mengungkap kasus, kalau ada ‘orang kuat’ yang melindungi para pelakunya.

Ketimpangan hukum yang dialami Novel, sebenarnya juga menimpa Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kasus dugaan penyadapan dan penggerudukan kediamannya jelang Pilkada DKI Jakarta lalu, menguap begitu saja. Tak pernah digubris hingga saat ini.

Pun kasus pencemaran nama baik yang dulu dilakukan mantan ketua KPK yang juga narapidana kasus pembunuhan berencana, Antasari Azhar. Belakangan, pengacara koruptor Setya Novanto, Firman Wijaya, juga diduga melakukan perbuatan serupa.

Namun, keduanya tak pernah diperiksa, meski SBY sendiri yang mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan laporannya. Jika mantan pemimpin negeri saja bisa diperlakukan sedemikian, wajar Novel tidak berharap banyak akan penuntasan kasusnya.

Dulu, tiga bulan setelah Novel diserang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara. Ia memanggil Kapolri Tito Karnavian guna mendesak penuntasan kasus tersebut. Sayang, langkah itu menjadi percuma, karena tak juga ada progresnya.

Entah desakan itu hanya pura-pura, lips service belaka, atau memang Kapolri yang tidak memiliki niat menuntaskannya. Sebab, ketika ditanya, selalu dijawab masih dalam proses. Kita cukup terbiasa untuk mengetahui bahwa jawaban seperti ini adalah ungkapan lain dari kebuntuan.

Tak salah kiranya jika Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai pemerintahan SBY jauh lebih baik dibanding rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Contohnya, dalam mengusut perkara pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, SBY berani membentuk tim 8 guna mencari fakta.

Meski kala itu ada indikasi keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri tersebut.

Tetapi, dalam kasus Novel, Jokowi melempem. Jangankan mengungkap skandal korupsi besar, untuk menangkap dua orang pelaku kejahatan penyiram air keras saja, pemerintah tidak sanggup. Sudah 500 hari dilalui tanpa adanya keadilan bagi korban penyerangan.

Ilustrasi

Inilah yang terjadi jika hukum sudah tidak berdaya. Hukum hanyalah gertakan verbal yang berpura-pura mengganyang kejahatan, tetapi di belakang berkompromi karena ketidakberdayaan. Penegakan hukum di negeri ini sudah menjadi utopia, karena penguasa dan kroni-kroninya bisa berbuat apa saja, tanpa ada hukuman dan konsekuensinya.

(*)

Artikel ini telah dimuat di Tempo.co

error: Maaf... ! Web ini di Protek yaaa...