Oleh : Chairul Amri
Mahasiswa Program Doktor UIN Makassar/Praktisi Hukum
Mapos, SESEORANG yang dijatuhi Pidana Mati di tingkat Pengadilan Negeri, masih bisa berlaku istilah pidana mati atau hukuman mati. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan PENCABUTAN NYAWA TERHADAP TERPIDANA.
Hal tersebut disebabkan karena masih dapat melakukan upaya hukum biasa yakni
1. Banding (Pengadilan Tinggi)
2. Kasasi (Mahkamah Agung)
3. Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung).
Apabila dari tiga Putusan Banding pengadilan tinggi, Kasasi, Peninjauan kembali, tetap Dikuatkan pidana mati maka terpidana mati tetap dapat bermohon mengajukan Grasi ke Presiden.
Secara Penjelasan Umum UU Grasi menegaskan bahwa pemberian grasi bukanlah campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif untuk memberikan ampunan. Meski pemberiannya dapat mengubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana. Grasi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Kemudian siapa yang dapat mengajukan grasi Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Grasi jo.UU 5/2010?
Yang dapat mengajukan grasi kepada presiden adalah terpidana yang telah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan yang dapat dimohonkan adalah pidana mati dan pidana penjara seumur hidup. Penting untuk kita ketahui bahwa grasi hanya dapat diajukan satu kali.
Selain itu, grasi merupakan hak yang dimiliki oleh terpidana. Presiden pun berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Bentuk yang diberikan dapat berupa keringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana.
Namun jika Permohonan Garasi ditolak oleh Presiden, maka barulah Jaksa Penuntut Umum dapat melaksanakan eksekusi.
Satu hal yang perlu diingat bahwa sekarang ini ada KUHP Baru UU. No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku pada 3 Januari 2026.
Jika ada terpidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan sampai berlakunya KUHP Baru, berlaku asas transitoir, yakni asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang.
Pasal 3 ayat (7) KUHP baru
Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan. Perundang-undangan yang baru.
Pidana mati dalam KUHP Baru (UU. No. 1 Tahun 2023), adalah “pidana mati bersyarat yang artinya Pidana mati tidak langsung dilaksanakan tetapi terpidana mati terlebih dahulu menjalani masa percobaan 10 tahun penjara. Bila dalam masa percobaan terpidana mati berkelakuan baik, maka hukumannya bisa berubah menjadi penjara seumur hidup.
Pasal 100 KUHP baru
Ayat (1) Hakim menjatuhkan Pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. Peran terdakwa dalam tindak Pidana.
Ayat (4) jika terpidana selama masa percobaan sebaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap da perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung
Ayat (6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Tetapi saya yakin bahwa terpidana mati yang menjalani masa percobaan pidana penjara selama 10 (sepuluh tahun) akan berupaya menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, berupaya berkelakuan baik agar pidana matinya dapat berubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
(*)