Mapos, Mamuju – Kabut tipis masih menyelimuti langit Kota Palu, Sulawesi tengah, Rabu pagi (3/10/2018).
Sejumlah pengungsi berduyun-duyun menuju kampung mereka yang luluh lantak.
Para korban ini ingin melihat kondisi rumah mereka yang dikabarkan hancur untuk yang terakhir kalinya.
Saat gempa tektonik terjadi, warga hanya fokus menyelamatkan jiwa tanpa sempat menengok kondisi rumah.
Warga hanya meratap sedih kala memeriksa rumahnya yang rusak. Namun ia masih merasa beruntung karena banyak rumah lain yang lebih parah.
Pengungsi kembali lihat rumahnya yang hancur kena gempa dan tsunami pada Jumat (28/9/2018).
Saat gempa terjadi, ia sedang berada di luar rumah. Ia merasakan sundulan hebat dari perut bumi hingga tubuhnya terangkat. Peristiwa itu dibarengi suara gemuruh yang menggelegar keras.
“Ada gelegar langsung rumah-rumah ambruk,” cerita pengungsi yang kini berada di Mamuju, transit.
Kedahsyatan gempa kemarin terlihat dari sisa-sisa reruntuhan rumah di Donggala dan Palu.
Ribuan rumah ambruk hingga rata dengan tanah. Sejumlah perabotan penting rumah masih terjepit reruntuhan puing.
Wildan tak bisa membayangkan kondisi penghuni rumah yang hancur itu, jika saat kejadian mereka di berada di dalam rumah. Untungnya, saat kejadian, sebagian besar penduduk keluar rumah atau pergi ke tempat yang dianggap aman.
“Yang rumahnya ambruk pas kejadian kebanyakan mereka tidak di rumah. Ada yang di rumah luka berat,” katanya.
Bencana ini memakan korban jiwa 1.234 (data BNPB), meninggal lantaran tertimpa puing reruntuhan rumah dan tsunami.
Ada yang meninggal saat dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS.
Wildan mengaku akan mengikuti arahan pemerintah untuk kepastian tempat tinggalnya selanjutnya.
Ia bersedia menempati tempat tinggalnya lagi jika pemerintah menyatakan wilayahnya sudah aman.
Kini, Wildan dan ratusan pengungsi yang berada di Mamuju akan kembali ke kampung halamannya sembari menetap dan menghilangkan panik serta trauma yang mendalam.
Mamuju adalah kota damai, kata pengungsi korban gempa dan tsunami, pelayanan di Mamuju terhadap korban gempa tak bisa dilukiskan dengan bahasa.
“Kita semua bersaudara,” kata Wildan dan pengungsi yang akan bertolak ke kampung halamannya.
Rata-rata para pengungsi gempa dan tsunami Sulteng yang sementara transit di Mamuju berasal dari Makassar, Sinjai, Jeneponto, Pare-pare, Bone.
(usman)