Perawat Istirahat Kerja, Berdampakkah Pada Layanan Kesehatan?

Mapos, Mamuju – Puluhan perawat tenaga honorer di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), Kamis (6/12/2018) berunjuk rasa menuntut upah layak di kantor Bupati Mamuju dan DPRD setempat. Upah yang diterima para tenaga kesehatan ini hanya Rp 400.000 per bulan, itupun baru dibayar dalam 3 bulan hingga 4 bulan sekali.

“Kami meminta pemerintah memberikan upah sesuai dengan standar UMR. Kita juga meminta untuk dihapuskan tenaga sukarela dari instansi pemerintah,” ungkap Anjas, koordinator aksi pada Kamis (6/12/2018) lalu.

Ratusan perawat yang tergabung dalam Gerakan Nasional Perawat Honorer Indonesia (GNPHI) Mamuju ini menuntut pengakuan melalui SK Bupati. Karenanya, mulai Jumat, 7 Desember 2018, mereka istirahat kerja sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Dengan seragam perawat berwarna putih-putih, mereka mereka langsung menggelar orasi di kantor Bupati. Sambil membawa keranda simbol matinya kebijakan keperpihakan terhadap nasib para perawat honorer. Sekaligus membentangkan spanduk pernyataan istirahat kerja yang kemudian mereka sepakati.

Menurut Anjas, keberadaan perawat honorer dan sukarela di beberapa Puskesmas lingkup Pemkab Mamuju, masih dipandang sebelah mata. Berbagai upaya dan perjuangan telah mereka tempuh agar Pemkab mendengar keluhan perawat honorer. Baik itu melalui lobi, dialog, demonstrasi dan lainnya. Namun, sampai saat ini, belum juga ditanggapi. Apalagi, dalam pembahasan APBD 2019, eksekutif mengingkari keberadaan perawat honorer ini.

“Seharusnya Pemkab merumuskan sebuah kebijakan dan regulasi yang lebih berpihak terhadap nasib kami. Berkaca dengan Kabupaten tetangga (KSB) yang telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan tenaga perawat sukarela melalui SK Bupati. Kami juga sudah perlihatkan contoh draf SK Bupati KSB yang memberikan pengakuan terhadap perawat sukarela. Sejak 2016 lalu, Bupati KSB telah menerbitkan SK untuk perawat, sampai sekarang juga tidak pernah bermasalah. Kenapa Pemkab Mamuju tidak berani mengakui kami perawat ini,” terangnya.

UU Otonomi Daerah dan UU Ketenagakerjaan, kata Anjas memberikan peluang kepada Pemkab untuk memberikan kesejahteraan kepada tenaga honorer melalui SK Bupati. Makanya, GNPHI Mamuju menuntut menghilangkan istilah perawat sukarela untuk memberikan pengakuan berupa SK Bupati. Mereka juga menuntut Pemkab Mamuju mengeluarkan regulasi yang jelas soal keberadaan perawat honorer ini melalui sebuah Peraturan Daerah (Perda).

“Kami tidak akan berhenti istirahat kerja, sampai ada regulasi yang jelas soal nasib perawat honorer ini. Kami meminta Bupati atau utusannya menemui kami. Sebab upaya dialog hingga terakhir Kamis kemarin juga tidak membuahkan hasil,”cetusnya.

Diakui Anjas, Sekda Mamuju, H. suaib dan Kadis Kesehatan Dr. Firmon sempat menawarkan perwakilan massa masuk berdialog dengan mereka. Namun dari hasil dialog tidak ada titik temu.

“Hasilnya nihil, sehingga kami sepakat istirahat kerja,” ujarnya.

“GNPHI Mamuju yang beranggotakan 800 orang yang tersebar disetiap Puskesmas, RS dan instansi pemerintah akan tetap istirahat kerja, ditemui atau tidak. Sampai tuntutan kami ditanggapi,” sambungnya.

Ketua DPRD Mamuju, Siti Suraidah Suhardi yang sempat ditemui di Kantor DPRD Mamuju, juga mengusulkan kepada Pemkab untuk tidak menutup mata kepada perawat honorer ini. Selama regulasi memungkinkan kenapa tidak mereka diberikan pengakuan melalui SK Bupati. Sebab keberadaan mereka di Puskesmas juga penting.

“Contohnya di Puskesmas yang ada di Mamuju. Ternyata tenaga medis yang PNS sedikit, sisanya yang berperan tenaga medis sukarela. Kita juga perlu memperhatikan mereka, dijadikan tenaga kontrak daerah, sepanjang aturan memungkinkan. Tentu dilakukan secara selektif dan ada skala prioritasnya. Misalnya, bagi perawat yang sudah mengabdi 4 atau 10 tahun,” katanya.

Di sisi lain, daerah juga dihadapkan pada keterbatasan anggaran. Intinya, Pemkab tidak boleh menutup mata, berupaya memfasilitasi perawat sukarela ini, disesuaikan dnegan kemampuan daerah. “Pemkab harus peka dan mencari jalan keluarnya,” pungkasnya.

Perawat Istirahat Kerja, Akankah Layanan Kesehatan Terhambat ?

Menanggapi istirahatnya para perawat, menurut pakar kesehatan, Dr. Astuti saat dihubungi via seluler yang bekerja di salah satu RS di Makassar mengungkapkan, bila ternyata betul terjadi istirahat kerja oleh para perawat dipastikan akan berimbas kepada pelayanan kesehatan.

“Sedikit atau banyak, pasti berdampaklah,” kata Astuti.

Seharusnya pemerintah daerah dan DPRD mencarikan solusi terbaik. Jangan saling melempar bola karena dampaknya akan berimbas kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Lebih-lebih kepada para perawat yang istirahat kerja.

“Pemda dan DPRD harus duduk bersama memecahkan persoalan ini. Saling menasehati itu baik, ketimbang harus mempertahankan keputusan yang barakibat besar kepada pelayanan kesehatan,” paparnya.

Ia mengatakan, sampai sejauh mana kemampuan melayani pasien bagi perawat ASN tanpa didukung oleh perawat yang honorer.

“Jelas pastinya akan pincang. Karena selama ini kita tahu bahwa peran tenaga medis, khususnya para perawat honorer sangat besar. Ini yang harus cepat dicarikan solusinya,” terang Astuti.

(toni)

error: Maaf... ! Web ini di Protek yaaa...