Apa Sebenarnya Isi Surat-surat Kartini?

Mapos. Tak banyak perempuan yang membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Hari Kartini dirayakan dengan lomba memakai konde dan kebaya saja.

Tokoh perempuan yang kehadirannya selalu diperingati setiap 21 April ini terkenal dengan buku yang ditulisnya, Habis Gelap Terbitlah Terang . Buku tersebut sebenarnya merupakan kumpulan lebih dari 100 surat yang ditulis Raden Adjeng Kartini untuk sahabat penanya. Dalam versi aslinya, buku itu ditulis Kartini dalam bahasa Belanda, yaitu Door Duistemis Tot Licht.

Habis Gelap Terbitlah Terang adalah versi terjemahan Armijn Pane yang terbit tahun 1938. Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno yang diberi judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.

Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu isi pemikiran Kartini yang dituangkan dalam surat-suratnya. Bahkan, tak banyak perempuan yang membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang . Selama ini, perayaan Hari Kartini selalu dirayakan dengan mengadakan lomba memakai konde dan kebaya saja.

Tentu, masih menjadi pemikiran kenapa perayaan Kartini selalu diwujudkan dengan pemakaian konde dan kebaya (atau pakaian nasional lainnya). Padahal itu jauh dari esensi mengapa Kartini ditetapkan Soekarno sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964.

Karena itu, amat penting bila kaum perempuan mengetahui apa sebenarnya yang menjadi buah pikiran Kartini dalam surat-suratnya. Ia menulis dalam bahasa Belanda kepada sahabat-sahabatnya, antara lain Estella H Zeehandelaar, Nyonya Ovink-Soer, Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof Dr GK Anton dan Nyonya, Hilda G de Booij, dan Nyonya van Kol.

Sajak Jiwa , misalnya, terasa sangat menyentuh, syahdu, dan romantis. “Bahagia nian bila bertemu jiwa yang sama,” tulis Kartini. Kata-kata yang disampaikan mewakili keinginan Kartini menemukan jiwa yang sama, yang seiring sejalan dengannya.

Kartini ternyata merupakan sosok yang riang. Surat pertamanya pada Stella menggambarkan suasana perkenalan dan gagasan Kartini akan emansipasi. Katanya, sudah lama sekali dia (Kartini) menginginkan kebebasan. Selama ini sebagai perempuan, dia merasa dikurung di dalam rumah. Titik terang hanyalah saat dia bisa membaca buku dan menuliskan surat pada teman-temannya.

“Hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka,” tutur perempuan yang lahir 21 April 1899 ini.

Kartini adalah yang penuh semangat, berseri-seri, dan berani berteriak lantang. “Tahukah kamu apa semboyan saya, ‘Saya Mau!’ Dua patah kata pendek itu sudah melalui bergunung-gunung rintangan,” soraknya.

Dalam surat lainnya, Kartini mengungkapkan bahwa jalan yang dia tempuh sekarang, berbatu-batu, terjal, dan belum dirintis. Itulah jalan menuju kebebasan perempuan bumiputera. Kartini bahagia karena boleh mengajar jadi guru. Baginya, pendidikan adalah perkara penting. Rasanya satu mimpi sudah terwujud. Di surat-surat ini, yang tampak adalah Kartini yang terus berdebat dengan pikiran-pikirannya.

Di mata koleganya, Kartini memang dikenal suka bercerita dan bersemangat di setiap kata-katanya. Bagaimana ia bercerita tentang seorang anak malang yang ia temui di jalan, dan mendorongnya untuk tetap berjuang. Dan banyak perihal perkara lain yang dihadapinya.

Kartini tidak menyukai perkawinan dan poligami, karena ayahnya sendiri berpoligami. Tampak bagaimana gundahnya Kartini akan perkawinan, dan akan cinta yang rasanya mustahil ada.

Ia juga sempat menyoalkan agama dalam suratnya yang ditulisnya pada sahabatnya, Stella Zeehandelar. Kartini berkeluh tentang agama Islam yang dia anut karena nenek moyangnya beragama Islam. Tentang Quran yang bisa dibaca, tapi tak dipahami maknanya.

Bagaimana bila Kartini bersedih? Itulah ketika ayahnya jatuh sakit. “Kesehatan ayah adalah utama, dan mimpi berasa makin jauh,” ujarnya meratap.

Dari surat-suratnya, tertangkap jelas bahwa Kartini adalah sosok yang peka terhadap apa yang terjadi di lingkungannya, dan kaya akan buah pikiran. Jadi, bukan hanya soal konde dan kebaya saja.

(*)

error: Maaf... ! Web ini di Protek yaaa...